BERATNYA MEMBERI MAAF
Oleh : Indarwati



SETIAP perbuatan harus dilandasi dengan keikhlasan. Tanpa keikhlasan, setiap perbuatan baik yang pernah dilakukan seolah sirna.

Itulah yang sedang terjadi pada diri Pito. Dia sedang jengkel kepada Abi.

Rasa jengkel yang mengganjal di benak Pito tersebut dipicu sikap Abi yang dianggap Pito sangat keterlaluan. Abi melemparkan kertas berbentuk bulat setelah diremasnya. Kertas itu mengenai kepala Pito.

Sejatinya Abi tidak sengaja untuk melemparkan kertas tersebut ke arah Pito. Namun, saat Abi melempar, Pito tiba-tiba muncul dari balik pintu kelas. Kertas itu menghantam kepala Pito.

“Maafkan aku, Pito,” kata Abi.

Abi sudah meminta maaf kepada Pito. Namun, Pito tidak mau memberi maaf. Pito tidak menyalami meski Abi sudah mengangsurkan tangan kanannya sebagai tanda meminta maaf.

Berkali-kali Abi meminta maaf, berkali-kali pula Pito menolak. Upaya Abi meminta maaf seolah membentur batu karang yang sangat keras. Sekeras hati Pito yang tidak luluh untuk memaafkannya.

Hingga beberapa hari kemudian, Pito tetap belum memaafkan Abi. Hubungan keduanya yang selama ini cukup akrab, sontak berubah menjadi renggang. Mereka tidak lagi saling menyapa. Mereka tidak berbicara satu sama lain.

Abi merasa sangat bersalah. Dia sudah berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan Pito. Berbagai cara sudah dijalankannya untuk meminta maaf.

Namun, hati Pito benar-benar membatu. Dia tidak mau memberikan maaf. Bahkan, setiap kami berpapasan dengan Abi, Pito selalu membuang muka. Seolah Pito tak pernah bertatap muka dengan teman yang kerap membantunya dulu.

Semua kebaikan yang pernah dilakukan Abi telah lenyap. Semua bantuan yang pernah diberikan Abi sirna. Tak ada lagi kebaikan dan bantuan yang pernah dilakukan Abi. Sekarang yang di benak Pito adalah segala hal yang jelek tentang Abi.

Abi yang pernah mengejeknya. Abi yang pernah menyobekkan sampul bukunya. Abi yang pernah mencubitnya. Abi yang pernah meninggalkannya saat pulang sekolah. “Abi benar-benar jahat,” pikir Pito.

Tak ada lagi dalam kepala Pito tentang hal-hal baik yang pernah dilakukan Abi. Abi yang hampir setiap hari menghampirinya di rumah saat berangkat sekolah. Abi yang pernah meminjamkan buku pelajaran. Abi yang pernah mengajarinya mengerjakan soal ketika belajar bersama. Abi yang pernah memapahnya saat jatuh ketika bermain di halaman sekolah dulu.

“Aku salah. Aku harus minta maaf. Tapi, bagaimana caranya?” keluh Abi.

Keesokan harinya, Pito dan Abi bersekolah seperti biasa. Semua murid kelas 5 duduk dengan tenang. Saat pelajaran diampu oleh Ibu Darni, guru mata pelajaran agama.

Ibu Darsi memberikan pelajaran mengenai maaf. Menurut Bu Darni, meminta maaf atau memberi maaf adalah perbuatan sangat mulia. Sebuah perbuatan yang sangat disukai Sang Pencipta.

“Sama-sama penting. Memberi maaf tidak mudah. Tapi, lebih tidak mudah lagi untuk meminta maaf. Belum tentu setiap orang punya keberanian untuk meminta maaf,” jelas Bu Darni.

Penjelasan Bu Darni membuat Pito seperti dipukul dengan sangat keras di bagian dada sehingga nafasnya terasa berat. Dia merasa malu dengan sikapnya selama ini terhadap Abi.

Dia sudah menolak permintaan maaf yang dilakukan Abi. Apalagi, Abi sudah meminta maaf kepadanya berkali-kali.

“Kenapa aku tidak memaafkannya?”

“Kenapa aku tidak mau menjabat tangannya kemarin?”

“Kenapa aku menjadi membencinya?”

Pertanyaan-pertanyaan itu membuat Pito merasa bersalah. Dia pun berjanji akan memberikan maaf itu nanti begitu pelajaran ini selesai.

Benar, begitu pelajaran selesai, semua murid keluar dari kelas karena jam istirahat. Abi pun berjalan untuk meninggalkan kelas. Sebelum melangkah keluar dari kelas, Pito memanggil Abi.

“Abi….” panggil Pito.

Abi menghentikan langkahnya. Dia menoleh ke belakang, menoleh ke arah Pito.

Pito lantas berjalan mendekati Abi. “Maafkan aku, Abi. Aku kemarin tidak mau memaafkanmu,” kata Pito.

Abi terdiam sejenak. “Tidak, Pito. Abi yang salah,” ucap Abi.

Abi mengulurkan tangan kanannya. Pito lekat-lekat memandang Abi. Kemudian Pito menyalami Abi sambil mengembangkan senyum di bibirnya.

Pito dan Abi saling memaafkan. Mereka kembali berteman dengan baik.

“Nanti kita pulang bersama, ya,” pinta Pito.

Abi mengangguk. Tapi, kamu memboncengkan aku, ya,” jawab Abi.

“Bukannya kamu bawa sepeda sendiri?” tanya Pito.

“Kebetulan sepeda saya rusak sehingga tadi waktu berangkat diantar Kaka,” ungkap Abi.

“Okelah kalau begitu….,” kata Pito dengan logat seperti dalam sebuah lagu. Mereka pun bermain bersama lagi. ***


Sumber:
Koran Anak
RADAR JOGJA
Minggu Pahing 4 April 2010

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pengobatan terbaik untuk pemikiran yang lamban adalah mengubah rutinitasnya. Barang siapa berselisih dengan yang benar, maka ia akan menjadi lemah.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------