BAB. II
SEPUPU YANG ANEH


TERNYATA Bibi Fanny sudah menunggu-nunggu kedatangan mereka. Begitu melihat ada mobil berhenti di depan, dengan segera Ia berlari-lari ke luar. Begitu melihat Bibi Fanny, dengan segera anak-anak menyukainya.

“Selamat datang di Kirrin!” serunya dan jauh. “Halo, apa kabar! Senang sekali rasanya, kalian datang kemari. Wah, bukan main — anak-anak sudah besar semuanya.”

Sesudah bersalam-salaman, ketiga anak itu masuk ke dalam rumah. Mereka segera menyukai rumah itu. Terasa ketuaannya. Seakan-akan menyimpan rahasia. Perabotan di dalamnya juga tua, dan indah.

“Maria Georgina’” tanya Anne sambil memandang berkeliling. Ia mencari-cari saudara sepupunya itu, ingin berkenalan.

“Nakal benar anak itu! Tadi sudah kubilang, dia harus menunggu kedatangan kalian di kebun,” kata Bibi Fanny. “Tahu-tahu, sekarang sudah menghilang lagi. Perlu kuperingatkan pada kalian, bahwa mungkin kalian akan menganggap Georgina agak sulit diajak berteman. Maklumlah, selama ini dia selalu sendirian saja. Dan mungkin saja mula-mula dia tak begitu suka kalian ada di sini. Tapi jangan pedulikan! Nanti kan dia akan biasa lagi. Aku merasa syukur bagi George, karena kalian bisa kemari. Dia sangat memerlukan teman bermain yang sebaya dengannya.”

“Bibi menamakannya George?” tanya Anne heran. “Saya kira namanya Georgina.”

“Memang betul,” jawab Bibi. “Tapi George tak suka jadi anak perempuan. Dia meminta agar kami memanggilnya dengan nama George, seperti anak laki-laki. Dia bandel sekali. Kalau dipangil Georgina, pasti tak mau menyahut.”

Menurut perasaan ketiga anak itu, Georgina sekarang anak yang menarik perhatian. Mereka sangat ingin bahwa dia datang. Tapi yang muncul bukan Georgina alias George, melainkan Paman. Paman Quentin. Kelihatannya angker sekali. Jangkung, berambut hitam, dengan dahi lebar yang berkerut.

“Apa kabar, Quentin!” ucap Ayah. “Lama sekali kita tak berjumpa. Mudah-mudahan saja ketiga anak ini tak terlalu mengganggu kesibukanmu.”

Quentin sedang sibuk dengan sebuah buku yang sulit,” kata Bibi Fanny. “Tapi untuknya sudah kusediakan sebuah kamar yang terpisah. Kurasa dia takkan terganggu oleh anak-anak.”

Paman Quentin menatap ketiga kemenakannya, lalu menganggukkan kepala. Tetapi mukanya tetap cemberut. Anak-anak menjadi agak takut melihatnya. Syukurlah, dia bekerja di tempat yang terpisah di rumah itu.

“Mana George?” tanya Paman dengan suara berat.

“Entahlah, tahu-tahu sudah menghilang,” jawab Bibi dengan kesal. “Padahal tadi sudah kukatakan agar menunggu di sini, supaya bisa berkenalan dengan ketiga sepupunya.”

“Anak itu minta dipukul rupanya,” kata Paman. Anak-anak tak tahu pasti, apakah Paman hanya bergurau saja atau tidak. “Nah, Anak-anak — mudah-mudahan kalian bisa bersenang-senang di sini. Dan barangkali saja kalian bisa mempengaruhi George, supaya dia tidak aneh lagi.”

Di Pondok Kirrin tidak ada tempat bagi Ayah dan Ibu. Karena itu sehabis makan malam dengan terburu-buru, mereka pergi menginap di sebuah hotel di kota yang terdekat. Besoknya sehabis sarapan, mereka akan segera berangkat lagi ke London. Jadi mereka berpisah dari Julian, Anne dan Dick pada malam itu juga.

Georgina masih belum muncul juga.

“Sayang, kami tidak bisa berjumpa dengan Georgina,” kata Ibu. “Salam kami saja padanya. Mudah-mudahan dia senang bermain dengan ketiga anak ini.”

Sesudah itu Ayah dan Ibu berangkat. Anak-anak memperhatikan mobil besar mereka menghilang di tikungan. Mereka merasa agak kesepian. Tetapi Bibi Fanny cepat-cepat mengajak mereka ke tingkat atas, untuk menunjukkan tempat mereka tidur. Bibi sangat ramah, sehingga tak lama kemudian ketiga anak itu sudah Lupa akan kesedihan mereka.

Julian dan Dick disuruh Bibi tidur di sebuah kamar yang miring langit-langitnya, di bawah atap rumah. Dari situ teluk bisa dilihat dengan jelas. Kedua anak laki-laki itu senang sekali mendapat kamar yang demikian bagusnya. Sedang Anne disuruh tidur bersama Georgina dalam sebuah kamar yang ukurannya agak kecilan. Dan jendela kamar itu nampak tanah berpaya-paya yang terbentang luas di belakang rumah. Tapi sebuah jendela samping menghadap ke arah laut. Kamar itu menyenangkan, dengan bunga-bunga mawar yang wangi terangguk-angguk ditiup angin di depan jendela. Anne merasa senang diberi kamar itu.

“Kenapa Georgina tidak datang-datang juga,” ujar Anne pada Bibi. “Saya kepingin sekali bertemu dengannya.”

“Anak itu agak aneh,” kata Bibi Fanny. “Kadang-kadang sikapnya seperti kasar dan sombong. Tapi sebenarnya dia sangat baik budi, lagipula setia. George selalu berkata sebenarnya. Jika sudah sekali bersahabat, tak mungkin diputuskan lagi olehnya. Sayangnya dia sukar bisa berteman.”

Tiba-tiba Anne menguap lebar-lebar. Kedua saudaranya memandangnya dengan kening berkerut. Mereka sudah bisa mengira, apa yang akan terjadi berikutnya. Dan benar juga perkiraan mereka.

“Kasihan, tentunya kau sudah sangat capek, Anne! Ayo, masuk ke tempat tidur sekarang juga. Kalian harus tidur nyenyak malam ini, supaya besok pagi bangun dalam keadaan segar-bugar,” kata Bibi.

Kau ini memang benar-benar goblok,” ujar Dick dengan kesal pada Anne, ketika Bibi sudah ke luar. Kau kan sudah tahu pikiran orang-orang dewasa, jika mereka melihat kita menguap. Padahal aku tadi kepingin jalan-jalan sebentar ke pantai.”

“Maaf deh,” kata Anne menyesal. “Entah kenapa, tak bisa kutahan lagi. Nah, nah — sekamang kau sendiri juga menguap, Dick! Dan kau juga, Julian.” Memang benar, ketiganya menguap silih berganti. Mereka sudah sangat mengantuk, capek sehabis naik mobil begitu lama. Diam-diam, mereka sebenarnva sudah kepingin masuk ke tempat tidur dan memejamkan mata.

Aku kepingin tahu di mana Georgina saat ini,” kata Anne sewaktu mengucapkan selamat tidur pada kedua abangnya. “Aneh benar dia itu, tidak mau menunggu untuk mengucapkan selamat datang. Tidak ikut makan malam, dan sampai sekarang belum pulang. Padahal dia akan sekamar dengan aku. Entah pukul berapa dia masuk nanti.” Anne masuk ke kamarnya.

Ketiga anak itu sudah lama terlelap, ketika akhirnya Georgina pergi tidur. Mereka tak mendengarnya, ketika dengan pelan membuka pintu kamar di mana Anne sudah nyenyak. Mereka juga tak tahu lagi, ketika anak itu berganti pakaian dan kemudian menggosok gigi. Tak kedengaran oleh mereka derak tempat tidur, ketika Georgina merebahkan diri di atasnya. Ketiga anak itu sudah begitu capek, sehingga tak mendengar apa-apa lagi. Tahu-tahu terjaga dibangunkan sinar matahari pagi.

Ketika Anne membuka matanya, mula-mula ia tak tahu di mana dia berada. Anak itu terbaring di tempat tidur yang kecil, sambil menatap langit-langit kamar yang miring. Diperhatikannya bunga-bunga mawar merah yang bergerak-gerak ditiup angin di depan jendela. Tiba-tiba ia teringat kembali.

“Aku di Teluk Kirrin — dan sekarang saat berlibur!” katanya pada diri sendiri. Kakinya ditendang-tendangkan ke udara oleh karena kegirangan.

Kemudian Anne memandang ke tempat tidur satu lagi, yang ada dalam kamar itu. Seorang anak terbaring di situ, meringkuk di bawah selimut. Yang kelihatan cuma rambut yang keriting. Lain tidak. Anne menunggu sampai anak yang sedang tidur itu kelihatan bangun.

“He — kau Georgina?” sapanya.

Anak yang terbaring itu dengan seketika duduk. Ditatapnya Anne dengan mata yang biru cerah. Rambutnya keriting dipotong sangat pendek, hampir sependek anak laki-laki. Mukanya coklat terbakar sinar matahari. Tarikan mulutnya agak cemberut, sedang keningnya berkerut. Seperti Ayahnya. Paman Quentin.

“Bukan,” jawab anak itu ketus. “Aku bukan Georgina.”

“Loh” Anne berseru heran. “Kalau begitu, kau ini siapa?”

“Namaku George,” kata anak itu. “Aku hanya mau menjawab, jika dipanggil dengan nama George. Aku benci jadi anak perempuan. Aku tak mau! Aku tak senang berbuat seperti anak perempuan.

Lebih asyik kesibukan anak laki-Laki. Aku lebih cekatan memanjat daripada anak laki-laki. Dan berenang pun lebih cepat dari mereka. Aku tak kalah cekatan dengan anak-anak nelayan di pesisir sini, kalau diadu berperahu layar. Kau harus memanggil aku George. Baru aku mau ngomong denganmu. Kalau tidak, aku tak mau.”

“Wah!” kata Anne. Menurut perasaannya saat itu, saudara sepupu yang baru dikenal ini aneh sekali, “Baiklah! Aku tak ambil pusing, nama mana yang harus kusebut. Menurut pendapatku, George itu nama yang bagus. Aku tak begitu senang pada nama Georgina. Lagipula, kau kelihatan seperti anak laki-laki.”

“Betul?” kata George. Sesaat lenyap kerutan dari dahinya. “Ibu marah-marah ketika aku pulang dari tukang cukur dengan rambut dipotong pendek. Dulu rambutku panjang, sampai ke bahu. Jelek deh.”

Sesaat lamanya kedua anak perempuan itu saling berpandangan. Kemudian George bertanya.

“Kau sendiri — tidak benci rasanya jadi anak perempuan?”

“Tentu saja tidak!” jawab Anne. “Soalnya, aku senang memakai gaun yang bagus. Aku suka bermain dengan boneka. Dan sebagai anak laki-laki, kau tak bisa mengenakan gaun dan bermain dengan boneka.”

“Uaah! Siapa mau peduli dengan gaun yang bagus.” ujar George mencemoohkan. “Apalagi boneka! Kau ini anak kecil.”

Anne merasa tersinggung.

“Sikapmu tidak sopan,” katanya. “Kaulihat saja nanti. Abang-abangku takkan mau mempedulikan, jika kau berlagak tahu segala-galanya. Mereka anak laki-Laki sejati, bukannya pura-pura seperti engkau.”

“Biar saja! Kalau mereka jahil, mereka takkan kupedulikan,” tukas George sambil meloncat turun dan tempat tidurnya. “Kan bukan aku yang memanggil kalian. Aku tak mau kalian datang, karena cuma merepotkan saja. Aku sudah senang hidup sendirian. Sekarang aku harus bergaul dengan anak perempuan konyol yang senang pada gaun dan boneka, dan dua sepupu laki-laki yang goblok-goblok!”

Anne merasa awal perkenalan itu tidak bisa disebut baik. Ia tak mengatakan apa-apa lagi. Dengan segera dikenakannya celana jeannya yang kelabu, serta baju kaos merah. George juga memakai jean, tapi baju kaosnya yang biasa dipakai anak laki-laki. Baru saja mereka selesai berganti pakaian, pintu sudah digedor dan luar.

“Lama benar kau berpakaian” seru Julian dan Dick dar luar. “Georgina ada di situ? Georgina, keluarlah! Kami kepingin bertemu.”

George membuka pintu dengan kasar, lalu ke luar dengan hidung terangkat tinggi-tinggi. Tak dipedulikannya kedua anak laki-laki yang tercengang-cengang memandangnya. Ia terus berjalan dengan kepala terdongak, menuruni tangga menuju ke tingkat bawah. Ketiga anak yang ditinggalkannya cuma bisa berpandang-pandangan saja.

“Dia tak mau menjawab, jika dipanggil dengan nama Georgina.” kata Anne menerangkan duduk perkara. “Kurasa anak itu aneh sekali. Dia tadi bilang, dia tidak menginginkan kita datang ke mari. Karena hanya akan merepotkannya saja. Aku ditertawakannva! Sikapnya kasar.”

Julian merangkulkan lengannya ke bahu Anne, yang kelihatan agak muram.

“Sudahlah. tak perlu sedih,” bujuk Julian. “Kita kan masih ada, yang bisa membelamu. Yuk, kita turun saja. Aku mau sarapan.”

Mereka bertiga lapar sekali. Bau telur dan daging goreng menambah selera makan. Bergegas mereka menuruni tangga, lalu mengucapkan selamat pagi pada Bibi. Bibi Fanny sedang sibuk menghidangken sarapan. Paman duduk di ujung meja sambil membaca koran. Ia menganggukkan kepala ke arah anak-anak. Mereka duduk dengan membisu, karena tidak tahu boleh atau tidak ngomong pada saat makan. Di rumah mereka sendiri boleh saja, tetapi Paman Quentin kelihatannya galak sekali.

George sudah duduk, sibuk mengoleskan mentega pada sepotong roti panggang. Ditatapnya ketiga anak itu dengan cemberut.

“Janganlah semasam itu mukamu, George,” larang Bibi. “Kuharap kalian berempat sementara ini sudah saling berteman. Pasti akan menyenangkan, bisa bermain bersarna-sama. George, kauajak saudara-saudara sepupumu pagi ini ke pantai. Tunjukkan pada mereka tempat-tempat yang terbaik untuk berenang.”

“Aku mau memancing,” jawab George singkat.

Seketika itu juga ayahnya mendongak dan memandangnya.

“Kau tidak boleh memancing,” katanya. “Sekali ini kau harus bersopan santun. Antarkan saudara-saudara sepupumu ke pantai. Mengerti?”

“Ya,” kata George, dengan muka yang sama masam seperti ayahnya.

“Kalau George kepingin memancing, kami sendiri juga bisa pergi ke teluk,” ujar Anne dengan segera. Menurut perasaannya, lebih baik tidak pergi bersama George apabila dia sedang kesal.

“George harus melakukan apa yang disuruhkan padanya,” kata Paman. “Kalau tidak, dia akan kumarahi.”

Jadi sehabis sarapan, keempat anak itu bersiap-siap akan pergi ke pantai. Mereka melewati sebuah jalan yang mudah ditempuh, dan berlari-lari dengan gembira menuju ke Teluk Kirrin. Sinar matahari menghangatkan tubuh. Bahkan George pun tidak lagi merengut, ketika melihat ombak laut yang biru berkilau-kilauan.

Kalau kau mau memancing, pergilah,” ujar Anne ketika mereka sampai di pantai. “Kami takkan mengadukan pada Paman. Kami tak mau mengganggu kebebasanmu. Kami sendiri bisa bermain bertiga. Kau tak perlu menemani, jika tidak mau.”

“Tapi kalau kau mau, kami akan senang sekali bermain dengan engkau,” ujar Julian bermurah hati. Menurut pendapatnya George kasar dan tak tahu aturan. Tetapi walau begitu dia merasa senang juga melihat anak perempuan berambut pendek yang kaku sikapnya itu, yang menatapnya dengan mata yang biru dan dengan mulut cemberut.

“Kulihat saja nanti,” kata George. “Aku tak mau beteman dengan anak-anak, hanya karena mereka kebetulan saudara-saudara sepupuku. Kuanggap berteman dengan jalan begitu, konyol! Aku hanya mau berteman, jika anaknya kusenangi.”

“Kami juga begitu,” balas Julian. “Mungkin saja kami tak suka padamu.”

George melongo sejenak, mendengar jawaban Julian itu.

“Ya — tentu saja,” katanya kemudian. “Mungkin saja kalian tak suka padaku. Pikir-pikir, banyak orang yang tak suka padaku.”

Anne menatap ke arah teluk yang biru airnya. Di ambangnya yang membuka ke laut nampak sebuah pulau kecil. Pulau karang, dan di atasnya nampak sesuatu yang dari jauh kelihatannya seperti sebuah puri kuno yang sudah runtuh.

“Aneh benar pulau itu,” katanya. “Apa namanya ya?”

“Pulau Kirrin,” jawab George. Matanya yang memandang ke laut, sama birunya seperti air di situ. “Tempatnya asyik untuk didatangi. Kalau aku senang pada kalian, mungkin pada suatu hari kalian akan kuajak pergi ke sana. Tapi aku tak mau berjanji. Satu-satunya jalan untuk bisa ke sana, naik perahu.”

“Kepunyaan siapa pulau aneh itu?” tanya Julian.

Jawaban George sama sekali tak disangka-sangka ketiga sepupunya.

“Pulau itu kepunyaanku,” katanya. “Maksudku, pada suatu hari nanti akan menjadi milikku. Aku seorang diri yang akan menjadi pemiliknya. Aku akan mempunyai sebuah puri.” Bersambung .....


Sumber:
Lima Sekawan : DI PULAU HARTA
Penulis Enid Blyton
Penerbit PT Gramedia Jakarta

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kalau anda tidak berbuat sesuatu dengan kehidupan anda, percuma saja berapa lama usia anda.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------