BAB. VI
AKIBAT ANGIN RIBUT


KEEMPAT anak itu menatap ke laut. Selama itu mereka begitu aayik melihat-lihat puri tua yang menarik itu sehingga tak ada yang sempat memperhatikan perubahan cuaca.

Sekali lagi terdengar bunyi guruh bergulung-gulung. Seolah-olah di atas langit ada seekor anjing besar yang sedang menggeram. Tim membalas, kedengarannya seperti guruh berukuran kecil.

“Ya ampun, kita terjebak,” ujar George dengan agak ngeri. “Kita takkan sempat kembali ke pantai. Itu sudah pasti angin bertiup sangat kencang. Kalian pernah melihat perubahan di langit seperti itu?”

Sewaktu mereka berangkat, langit masih berwarna biru cerah. Tetapi sekarang sudah kelabu gelap. Awan tebal yang menutupi, sangat rendah nampaknya. Awan-awan itu seakan lari berkejar-kejaran. Angin yang meniup menimbulkan suara melolong-lolong, sehingga Anne merasa ketakutan mendegarnya.

“Hujan sudah mulai turun,” kata Julian. Setetes air yang besar membasahi tangannya yang diulurkan. “Sebaiknya kita cepat-cepat mencari perlindungan, George! Kalau tidak, nanti kita basah kuyup.”

“Ya, sebentar lagi,” kata George. “Aduh, coba lihat betapa besar ombak yang datang bergulung-gulung itu. Badainya akan benar-benar dahsyat rupanya. Astaga — seram benar kilat itu!”

Ombak memang mulai meninggi. Anak-anak tercengang melihat perubahan yang terjadi. Ombak makin lama makin membesar, bergulung melampaui deretan batu karang, lalu melaju dengan suara keras menuju ke pantai.

“Kurasa lebih baik perahu kita tarik lebih tinggi lagi,” ujar George tiba-tiba. “Kelihatannya badai yang akan mengamuk dahsyat sekali. Kadang-kadang badai di musim panas lebih hebat daripada di musim dingin.”

Bersama Julian, George lari ke tempat perahu mereka. Untung saja, karena ombak yang besar-besar sudah mulai menyambar ke dekat perahu. Kedua anak itu menyeretnya hampir sampai ke puncak sebuah bukit batu yang rendah. George menambatkannya ke pangkal sebuah semak kokoh yang tumbuh di situ.

Sementara itu hujan sudah turun seperti dicurahkan dari langit. Dengan cepat George dan Julian sudah basah kuyup.

“Mudah-mudahan Dick dan Anne ingat dan berlindung dalam kamar yang masih utuh dinding dan langit-langitnya,” kata George.

Ternyata keduanya memang berlindung di situ. Mereka kelihatan menggigil, karena agak kedinginan dan ketakutan. Kamar itu gelap, karena cahaya hanya masuk dari dua jendela kecil dan dari lubang pintu sempit.

“Bisakah kita menyalakan api, supaya suasana di sini agak enak?” kata Julian sambil memandang berkeliling. “Di mana bisa kita dapatkan ranting- ranting yang kering?”

Seolah-olah menjawab pertanyaan, segerombolan burung gagak berteriak-teriak sambil terbang berputar-putar di tengah badai.

“Ya, tentu saja, Di dasar menara banyak bertaburan ranting-ranting!” seru Julian. “Maksudku di mana burung-burung itu bersarang. Di sana hanyak ranting yang terjatuh.”

Julian lari di tengah hujan, menuju ke menara. Dengan cepat diraupnya ranting-ranting yang ada di situ, lalu lari kembali ke tempat berteduh.

“Bagus!” kata George. “Dengannya kita bisa menyalakan api unggun. Ada yang punya kertas dan korek api untuk membakarnya.”

“Kalau korek api, aku punya,” kata Julian, “Tapi tak ada yang membawa kertas.”

“Ada,” kata Anne tiba-tiba. “Roti kita dibungkus dalam kertas. Kita keluarkan saja rotinya, supaya kertas itu bisa kita pakai untuk menghidupkan api.”

“Bagus idemu itu,” kata George. Mereka Lantas membuka bungkusan roti. Rotinya disusun rapi di atas sekeping batu pecah, sesudah dibersihkan terlebih dulu. Kemudian mereka menghidupkan api unggun. Kertas pembungkus ditaruh paling bawah, setelah itu ranting-ranting diatur bersilang di atasnya.

Senang sekali mereka ketika kertas mulai terbakar. Nyala membesar dan membakar ranting-ranting dengan segera. Ranting-ranting itu kering semuanya. Tak lama kemudian api unggun sudah menyala. Kamar sempit itu diterangi cahaya api yang menari-nari. Di luar sudah gelap sekali. Awan mendung sangat rendah, nyaris menyentuh ujung menara puri. Awan itu melayang dengan cepat ke arah timur laut, seperti diburu dari belakang oleh angin yang bertiup menderu-deru. Suaranya sama keras seperti deru ombak yang memecah di pantai pulau itu.

“Belum pernah kudengar laut berbunyi begitu ribut,” kata Anne. “Kedengarannya seperti sedang berteriak sekuat-kuatnya.”

Anak-anak nyaris tak bisa mendengar suara mereka sendiri, karena kalah dengan bunyi angin dan ombak. Mereka terpaksa berteriak-teriak.

“Ayo, kita makan saja sekarang!” seru Dick. Dia sudah merasa lapar, seperti biasanya. “Selama badai masih mengamuk, kita toh tak bisa berbuat apa-apa.”

“Ayolah,” sambut Anne sambil melihat ke arah roti dengan rasa kepingin. “Asyik juga, berpiknik mengelilingi api unggun di kamar yang gelap ini. Aku kepingin tahu, berapa lama waktu yang sudah lewat sejak ada orang-orang jaman dulu makan di sini. Aku kepingin bisa melihat mereka.”

“Aku tidak mau,” ujar Dick, sambil memandang berkeliling dengan agak takut-takut. Seolah-olah dia mengira akan ada orang-orang jaman dulu masuk dan ikut piknik bersama mereka. “Hari ini sudah cukup aneh. Tak perlu lagi mengharapkan kejadian seperti itu.”

Mereka merasa lebih enak, setelah menghabiskan bekal roti dan minuman. Api unggun menyala semakin besar ketika semakin banyak ranting-ranting yang terbakar. Nyalanya menghangatkan tubuh. Untunglah, karena sebagai akibat angin yang bertiup sangat kencang, udara menjadi lebih dingin dari semula.

“Kita berganti-ganti mengambil kayu kering,” kata George. Tetapi Anne tak mau pergi seorang diri. Ia berusaha sedapat-dapatnya untuk tidak menampakkan rasa takutnya terhadap badai. Namun ia tak sanggup keluar dari kamar yang hangat itu, untuk mengambil kayu di tengah hujan lebat. Apalagi kilat dan petir menyambar-nyambar.

Tim juga tidak menyukai badai. Anjing itu duduk merapatkan diri pada George. Kupingnya tegak, dan setiap kali terdengar bunyi guruh ía ikut menggeram. Anak-anak mengumpaninya dengan potongan-potongan roti. Tim makan dengan lahap, karena ia pun merasa lapar.

Setiap anak mendapat empat potong biskuit.

“Punyaku akan kuberikan semua pada Tim,” kata George. “Aku tak membawa biskuit makanannya. Sedang kelihatannya ia sangat lapar.”

“Jangan,” kata Julian. “Kita masing-masing memberikan sebuah padanya. Jadi Tim mendapat empat biskuit, sedang untuk kita masing-masing masih ada tiga buah. Untuk kita, itu kan sudah banyak.”

“Kau baik sekali,” kata George. “Bagaimana pendapatmu, Tim, baikkah mereka ini?”

Tim menyalak untuk menyatakan persetujuannya dengan kata-kata George. Anak-anak tertawa mendengarnya. Tim merebahkan diri, lalu digelitik oleh Julian perutnya.

Anak-anak tak lupa memasukkan ranting-ranting kering ke api supaya jangan padam, sambil makan-makan. Kemudian tiba lagi giliran Julian untuk mengambil kayu bakar. Ia keluar dan lari ke tengah hujan. Ia berdiri sambil memandang berkeliling, sementara air hujan membasahi kepalanya.

Rupanya saat itu badai sudah tepat berada di atas pulau. Kilat menyambar, diiringi bunyi petir pada saat bersamaan. Julian sebenarnya sama sekali tidak takut terhadap badai. Tetapi mau tidak mau, hatinya agak gentar juga sekali itu. Badai dahsyat sekali! Kilat sambar-menyambar, diiringi bunyi petir yang nyaringnya memekakkan telinga. Seolah-olah di sekelilingnya ada gunung-gunung rubuh.

Di sela-sela bunyi petir dan guruh terdengar deru laut. Bunyinya juga mengagumkan. Percikan ombak terbang begitu tinggi, sehingga membasahi Julian yang sedang berdiri di tengah reruntuhan puri.

“Aku kepingin melihat wujud ombak di tengah angin ribut,” katanya pada diri sendiri. “Kalau percikannya saja bisa membasahi tubuhku di sini, mestinya ombak itu besar sekali!”

Julian berjalan keluar dari puri, lalu menaiki bekas tembok yang dulu mengelilingi puri. Julian berdiri di atas runtuhan tembok, memandang ke arah lautan. Ia berdiri tercengang-cengang! Ia kagum melihat pemandangan di depannya.

Ombak laut kelihatan seperti tembok tinggi berwarna hijau tua bercampur kelabu, melanda batu-batu karang yang berhamparan sekeliling pulau. Percikannya nampak putih kemilau di depan langit yang berwarna kelabu kelam. Ombak besar itu bengulung-gulung sampai ke pantai dan terbanting dengan keras di situ. Benturannya begitu keras, sehingga tembok tempat Julian berpijak tergetar sebagai akibatnya.

Julian takjub memandang laut yang sedang mengamuk. Sesaat dikiranya ombak akan membanjiri Pulau Kirrin. Tetapi ia tahu hal itu tak mungkin terjadi. Sementara sedang menatap ombak besar yang datang bergulung-gulung, ia melihat sesuatu yang aneh.

Ada sesuatu benda di dekat batu-batu di depan pantai, kecuali ombak. Benda itu besar dan berwarna gelap. Kelihatannya seperti akan tersembul keluar dari air, lalu surut kembali. Benda apakah itu?

“Tak mungkin sebuah kapal,” ujar Julian pada dirinya sendiri. Hatinya mulai berdebar-debar keras, sementara ia memicingkan mata agar dapat melihat lebih jelas di sela hujan dan percikan ombak. “Tapi kelihatannya mirip sekali seperti kapal. Mudah-mudahan saja bukan, karena tak mungkin ada yang bisa diselamatkan dalam badai sedahsyat ini.”

Julian berdiri sambil memandang ke arah benda gelap yang timbul tenggelam dalam laut. Kemudian diambilnya keputusan untuk memberitahukan pada anak-anak. Dengan bergegas ia kembali ke kamar yang diterangi cahaya api unggun.

“George! Dick! Di batu-batu depan pulau ini ada sesuatu benda aneh!” serunya sekuat tenaga. “Kelihatannya seperti kapal, tapi mustahil. Lihat sajalah sendiri!”

Anak-anak memandangnya keheranan, lalu meloncat bangkit. George cepat-cepat mencampakkan beberapa potong ranting ke api supaya tidak padam, lalu lari bersama anak-anak menyusul Julian yang sudah mendahului.

Badai sudah agak mereda. Hujan sudah tidak lagi selebat tadi. Bunyi guruh agak menjauh, sedang kilat pun tidak begitu sering lagi menyambar. Julian lari mendahului ke tembok, di mana ia sebelumnya berdiri memandang ke laut.

Semua ikut memanjat dan menatap ke laut. Mereka melihat air berwarna hijau gelap bergejolak. Ombak besar-besar datang bergulung-gulung dan memecah di batu-batu, lalu memburu ke pulau seolah-olah hendak menerkam. Anne memegang lengan Julian erat-erat. Anak itu merasa kecil dan ketakutan.

“Kau tak perlu takut, Anne,” ujar Julian keras-keras. “Perhatikanlah, sebentar lagi akan nampak sesuatu yang aneh.”

Mereka semua asyik memperhatikan. Mula-mula tak ada yang kelihatan kecuali ombak yang membumbung tinggi. Tiba-tiba nampak oleh George benda yang dimaksudkan Julian.

“Ya Tuhan,” serunya, “Itu kapal! Betul, sebuah kapal! Terdamparkah dia di situ? Itu kapal besar — bukan perahu layar atau sekoci nelayan.”

“Ada orang di dalamnya?” tanya Anne setengah menangis.

Anak-anak memperhatikan seperti terpaku di tempat mereka berdiri. Tim menggonggong dengan ribut, ketika dilihatnya benda gelap yang aneh terombang-ambing dipukul ombak yang besar-besar. Kapal itu didorong alun ke arah pantai.

“Sebentar lagi pasti terbanting ke batu-batu itu,” kata Julian tiba-tiba. “Lihatlah!”

Saat ia sedang berkata begitu, terdengar bunyi berderak nyaring, seperti ada benda yang pecah. Kapal itu terdampar ke batu-batu runcing yang terdapat di sebelah barat daya Pulau Kirrin.

“Dia terdampar,” kata Julian, tak bisa bergerak lagi. Sebentar Lagi laut akan surut sedikit, dan kapal itu akan tetap tersangkut di situ.”

Sementara Julian sedang ngomong, awan yang sudah menjadi tipis merenggang sebentar dan melewatkan sinar matahari yang pucat. Tetapi hanya sebentar saja, sesudah itu awan merapat kembali.

“Bagus!” kats Dick sambil menengadah. “Sebentar lagi matahari akan muncul. Tubuh kita bisa menjadi hangat kembali, dan pakaian kita akan kering. Mudah-mudahan nanti kita bisa melihat, kapal apa yang sial itu. Mudah-mudahan tak ada orang di dalamnya. Mudah-mudahan semua sudah berhasil menyelamatkan diri dengan sekoci-sekoci ke darat.”

Awan semakin tipis. Angin sudah tidak menderu-deru lagi. Matahari memancarkan sinarnya agak lama. Terasa oleh anak-anak kehangatannya. Mereka semua menatap ke kapal yang terdampar di batu karang. Sinar matahari meneranginya.

“Ada sesuatu yang aneh pada kapal itu,” kata Julian sambil berpikir-pikir. “Sesuatu yang aneh sekali. Aku belum pernah melibat kapal semacam itu.”

George menatapnya dengan pandangan aneh. Kemudian ia berpaling memandang ketiga saudara sepupunya. Mereka heran, karena mata George bersinar-sinar gembira. Ia demikian gembira, sehingga nyaris tak bisa ngomong.

“Ada apa?” tanya Julian sambil memegang tangannya.

“Julian — itu — Julian, itu bangkai kapalku!” jerit George dengan suara melengking tinggi. “Masakan kau tak bisa menebak apa yang telah terjadi tadi! Laut yang bergolak karena badai mengangkatnya dari dasar laut, lalu membantingnya sehingga kandas di atas batu karang itu. Itu bangkai kapalku!”

Seketika itu juga ketiga saudara sepupunya melihat bahwa kata George benar. Itu memang bangkai kapal tua yang karam. Pantas kelihatannya aneh! Karena itulah kelihatannya sangat tua dan gelap, dan berbentuk asing. George benar. Itu bangkai kapalnya, yang terangkat dari tempat peristirahatannya di dasar laut dan terbanting ke atas batu di depan pantai.

“George! Kita sekarang bisa naik perahu ke kapal itu!” seru Julian. “Kita akan bisa memeriksanya dengan seksama, dari haluan sampai buritan. Barangkali saja kita akan menemukan peti-peti yang penuh berisi emas. Wah, George!” Bersambung .....


Sumber:
Lima Sekawan : DI PULAU HARTA
Penulis Enid Blyton
Penerbit PT Gramedia Jakarta

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Berbicara dengan sikap yang tenang dan pelan tentu akan selamat, tetapi dengan tergopoh-gopoh tentu akan menimbulkan penyesalan.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------