BAB. VII
KEMBALI KE PONDOK KIRRIN


KEEMPAT anak itu sangat tercengang dan tertarik, sehingga lebih dari semenit mereka tak bisa berkata apa-apa lagi. Mereka hanya melotot memandang bangkai kapal tua itu. Pikiran mereka penuh dengan angan-angan, membayangkan segala macam yang mungkin akan ditemukan di daLamnya. Kemudian Julian memegang lengan George erat-erat.

“Wah, hebat ya?” katanya. “Benar-benar luar biasa!”

George masih membisu. Matanya masih menatap bangkai kapal, sementara dalam pikirannya terbayang bermacam-macam hal. Kemudian ia berpaling ke Julian.

“Mudah-mudahan kapal itu masih punyaku, setelah terlempar ke atas seperti itu,” ujarnya. “Aku tak tahu apakah bangkai-bangkai kapal menjadi milik Ratu, seperti halnya harta terpendam. Tapi bagaimanapun juga, kapal itu dulu milik keluargaku. Tak ada yang mempedulikannya sewaktu terbenam di dasar laut. Bagaimana pendapatmu, apakah aku masih boleh memilikinya setelah terangkat ke atas?”

“Kita jangan bercerita pada orang lain!” kata Dick.

“Janganlah setolol itu,” ujar George. “Salah seorang nelayan pasti akan melihatnya, sewaktu berangkat meninggalkan teluk. Kemudian dengan cepat akan tersebar beritanya.”

“Kalau begitu, lebih baik kita cepat-cepat memeriksanya dengan teliti, sebelum didahului orang lain!” kata Dick bersemangat. “Sekarang belum ada orang yang tahu, kecuali kita. Tidak bisakah kita ke situ, apabila ombak sudah agak mereda?”

“Kita tak bisa jalan kaki ke batu-batu sana, jika itu yang kau maksudkan,” kata George. “Kalau dengan perahu mungkin bisa, tapi sekarang belum, karena ombak masih terlalu besar. Dan hari ini pasti belum akan reda, karena tiupan angin masih tarlalu kencang.”

“Kalau begitu bagaimana kalau besok pagi-pagi,” tanya Julian. “Sebelum ada orang lain yang tahu? Kurasa jika kita bisa paling dulu datang ke kapal itu, segala yang ada di situ akan bisa kita temukan!”

“Ya, mungkin saja,” kata George. “Kataku para penyelam sudah pernah turun dan memeriksanya seseksama mungkin. Tapi itu sangat sukar, karena mereka harus bekerja dalam air. Mungkin saja kita akan menemukan sesuatu yang tidak mereka lihat waktu itu. Wah, rasanya seperti sedang mimpi. Sukar kupercaya bahwa bangkai kapal tuaku muncul dari dasar laut.”

Sementara itu awan gelap sudah menyingkir. Sinar matahari yang hangat dengan cepat mengeringkan pakaian keempat anak itu yang tadinya basah kuyup. Nampak uap air mengepul dari pakaian mereka. Dan dari bulu tubuh Tim juga nampak kabut halus naik ke udara, Anjing itu kelihatannya tak menyenangi bangkai kapal yang tiba-tiba muncul, karena ia menggeram dengan suara berat.

Kau ini aneh, Tim,” ujar George sambil menepuk-nepuk anjingnya. “Kapal itu kan tidak mengapa-apakan dirimu! Kau kira itu apa?”

“Mungkin dikira ikan paus,” kata Anne berkelakar. Ia tertawa. “Wah, George — ini hari yang paling mengasyikkan selama hidupku. Tidak bisakah kita naik saja ke perahu sekarang dan mencoba datang ke kapal itu?”

“Tidak bisa!” kata George. “Aku sendiri juga kepingin. Tapi itu mustahil, Anne. Pertama-tama kurasa kapal itu belum tetap letaknya di batu-batu. Ia masib akan tetap goyah, selama pasang belum surut. Kulihat lambungnya masih terangkat sedikit, setiap ada ombak yang sangat besar datang menamparnya. Sekarang masih berbahaya masuk ke situ. Dan selanjutnya, aku juga tak kepingin perahuku hancur berkeping-keping terbentur batu, dan kita tercampak ke laut yang masih bergolak itu. Itulah yang akan terjadi jika kita mencoba juga sekarang. Kita harus menunggu sampai besok. Bagus ide tadi, untuk berangkat ke situ pagi-pagi. Kurasa orang-orang dewasa banyak yang akan beranggapan bahwa urusan merekalah memeriksa kapalku itu.”

Sesudah mengamat-amati bangkai kapal yang terdampar itu beberapa saat lagi, anak-anak kemudian berjalan-jalan mengitari Pulau Kirrin. Pulaunya tak begitu besar, tetapi sangat menarik hati. Pantainya berbatu-batu, dengan sebuah teluk kecil di mana perahu mereka tertambat. Lalu runtuhan puri dengan burung-burung sejenis gagak yang terbang berputar sambil berteriak-teriak ribut, serta kelinci-kelinci yang berlompatan ke sana ke mari.

“Aku senang pada pulau ini,” kata Anne. “Sungguh! Ukurannya cukup kecil, sehingga masih bisa kelihatan bentuk pulaunya. Kebanyakan pulau terlalu besar, sehingga kesan yang timbul cuma sebagai daratan saja. Maksudku Inggris juga sebuah pulau. Tapi tak ada orang yang hidup di situ akan tahu bahwa ia tinggal di sebuah pulau, kalau hal itu tidak dikatakan kepadenya. Kalau ini rasanya benar-benar seperti pulau, karena di mana pun kita berdiri tepinya yang satu lagi masih bisa kelihatan Aku senang pada pulau ini.”

George merasa bahagia. Ia sudah sering ke situ sebelumnya, tetapi selalu sendirian. Hanya Tim saja yang ikut. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri takkan mengajak orang lain ke situ, karena dirasakannya hanya akan merusak suasana. Tetapi ternyata suasana tak rusak karena kehadiran Julian beserta kedua adiknya. Bahkan menjadi semakin asyik. Untuk pertama kalinya George menyadari bahwa kesenangan yang dibagi dengan orang lain merupakan kenikmatan yang berlipat ganda.

“Kita tunggu dulu sampai ombak tak begitu tinggi lagi. Sudah itu baru kita pulang,” katanya. “Kurasa hujan masih akan turun lagi, dan kalau kita berangkat sekarang pakaian kita akan basah kuyup. Kita akan baru sampai di rumah saat minum teh, karena berat mendayung melawan arus air surut.”

Keempat anak itu agak capek, karena sepagian sibuk terus. Tak banyak mereka berkata-kata sewaktu berdayung pulang. Mereka silih berganti memegang dayung. Hanya Anne saja yang tidak ikut mendayung, karena ia masih terlalu kecil. Takkan kuat ia melawan arus pasang surut. Sambil bergerak ke arah pantai, mereka menoleh ke belakang untuk melihat Pulau Kirrin. Bangkai kapal tak nampak oleh mereka karena letaknya di sisi yang lain, menghadap ke laut.

“Untung saja letaknya di sebelah sana,” kata Julian. “Jadi tak ada orang lain yang bisa melihat dari pantai. Kapal itu baru akan kelihatan apabila ada perahu nelayan berangkat hendak menangkap ikan. Besok kita berangkat sepagi perahu nelayan. Kuusulkan, kita bangun subuh.”

“Wah, pagi sekali,” kata George. “Kau bisa bangun sepagi itu? Aku sudah biasa bangun subuh, tapi kalian kan belum!”

“Tentu saja kami bisa bangun,” jawab Julian. “Nah — kita sudah sampai lagi di pantai. Syukurlah! Lenganku sudah pegal. Perutku juga sudah sangat lapar. Rasanya semua makanan yang ada di rumah akan sanggup kusikat habis.”

“Wah,” Tim menggonggong untuk menyatakan persetujuannya.

“Aku harus memulangkan Tim ke rumah Alf,” kata George sambil meloncat keluar dari perahu. “Kaunaikkan perahu kita ke pantai, Julian. Sebentar lagi aku akan sudah kembali.”

Tak lama kemudian keempat anak itu sudah duduk menghadapi hidangan teh. Bibi Fanny memanggang beberapa potong roti empuk yang biasa dihidangkan pada saat minum teh di Inggris, serta kue jahe dengan setrup kental berwarna hitam. Kuenya berwarna coklat tua dan agak lengket. Anak-anak memakannya sampai habis. Rasanya belum pernah mereka menikmati hidangan teh seenak itu.

“Asyik kalian sehari ini?” tanya Bibi.

“O ya!” seru Anne bersemangat. “Angin ribut tadi betul-betul hebat. Sampai terangkat …………….”

Julian dan Dick serempak menendangnya. George duduk agak jauh. Kalau tidak, pasti ia juga ikut menendang. Anne melotot ke arah kedua abangnya, dengan air mata berlinang-linang karena kesakitan.

“Ada apa lagi ini!” kata Bibi. Ia tak melihat kejadian itu, karena kaki-kaki keempat anak itu semua berada di bawah meja. “Kau ditendang, Anne? Kalian tak boleh lagi tendang-menendang di bawah meja. Kasihan Anne! Kakinya biru-biru nanti. Apa yang diangkat oleh ombak ke atas, Sayang?”

“Ombak besar yang terangkat ke atas, Bi,” kata Anne sambil memandang ketiga anak itu dengan sikap menantang. Dia tahu, mereka pasti mengira bahwa dia akan mengatakan ombak mengangkat kapal karam ke atas. Tetapi mereka keliru sangka! Dan dia ditendang dengan tidak bersalah.

“Maaf deh, kau tadi kutendang,” ujar Julian. “Aku tak sengaja, kakiku tergelincir.”

“Kakiku juga,” sambung Dirk. “Betul Bi, pemandangan yang nampak dari pulau benar-benar mengagumkan. Ombak besar berkejar-kejaran masuk ke dalam teluk kecil yang ada di sana. Sampai perahu kami harus ditarik naik sampai hampir ke puncak bukit batu kecil.”

“Aku sebetulnya tak takut pada badai,” kata Anne. “Aku tak setakut Ti………..”

Anak-anak semuanya tahu bahwa Anne nyaris menyebutkan nama Tim. Seketika itu juga mereka ngomong dengan nyaring, agar suara anak perempuan kecil itu tak terdengar oleh Bibi. Julian masih sempat menendangkan kaki.

“Aduh!” teriak Anne. Tetapi teriakannya dikalahkan oleh keributan anak-anak ngomong.

“Kelinci di sana jinak-jinak,” kata Julian keras-keras.

“Kami melihat burung-burung kormoran,” kata Dick. George juga ikut-ikut ngomong keras-keras.

“Burung-burung gagak berisik sekali, berkaok-kaok tak henti-hentinya.”

“Kalian juga seperti burung gagak berisiknya, ngomong serempak seperti begini!” ujar Bibi Fanny geli. “Nah, kalian sudah selesai makan. Kalau begitu lekas cuci tangan kalian yang lengket itu. Ya George, kau juga harus cuci tangan. Tanganmu juga lengket! Aku tahu, karena akulah yang membuat kue jahe tadi, dan kau makan tiga iris. Sudah itu bermainlah dengan diam-diam di kamar sebelah. Kalian tak bisa ke luar, karena hari hujan. Tapi ingat, jangan sampai mengganggu Ayah, George. Ia sibuk sekali.

Anak-anak pergi mencuci tangan.

“Goblok!” tukas Julian pada Anne. “Nyaris dua kali kau membongkar rahasia kita!”

“Yang pertama kali, aku tak bermaksud mengatakan seperti yang kaukira!” jawab Anne dengan jengkel.

George menyela pertengkaran itu.

“Aku lebih suka rahasia kapal karam yang kaubuka daripada rahasiaku tentang Tim,” katanya. “Kau ini kurang hati-hati kalau ngomong.”

“Memang,” ujar Anne dengan sedih “Kurasa lebih baik aku tidak ngomong saja pada saat makan. Aku senang sekali pada Tim, jadi rasanya kepingin selalu bicara tentang dia.”

Mereka pergi bermain-main ke kamar sebelah. Julian menggulingkan sebuah meja sehingga terbalik dengan suara keras.

“Kita bermain kapal karam,” katanya. “Ini kapalnya. Sekarang kita akan memeriksa.”

Pintu kamar terbuka dengan keras. Di ambangnya muncul muka seseorang yang merengut. Paman Quentin! Marah sekali kelihatannya.

“Suara apa yang ribut tadi?” tanyanya ketus. “George! Siapa yang membalikkan meja itu?”

“Saya, Paman,” kata Julian. “Maaf, saya tadi lupa Paman sedang sibuk bekerja.”

“Kalau kalian masih berisik juga, besok harus tinggal di kamar semua,” ujar ayah George. “Georgina, jaga supaya saudara-saudara sepupumu tidak ribut.”

Pintu tertutup kembali. Paman pergi meninggalken anak-anak yang saling berpandangan.

“Ayahniu galak sekali, ya?” kata Julian. “Aku menyesal karena tadi berisik. Aku lupa.”

“Lebih baik kita melakukan suatu permainan yang tenang,” kata George. “Kalau tidak, besok kita akan dihukumnya dan tak boleh keluar. Padahal kita hendak memeriksa kapal karam.”

Mereka ngeri membayangkan akan dikurung dalam rumah. Anne bangkit, hendak mengambil boneka-bonekanya. Ternyata dia berhasil membawa beberapa buah. Julian mengambil buku bacaan. George melanjutkan pekerjaan tangannya, mengukir sebuah perahu kecil yang indah dari sepotong kayu. Dick berbaring menelentang di bangku, Sambil memikirkan tentang kapal karam yang menarik itu. Hujan masih turun terus. Keempat anak berharap, semoga besok pagi sudah tidak hujan lagi.

“Kita harus bangun pagi-pagi benar,” kata Dick sambil menguap. “Kita cepat tidur saja malam ini. Aku capek mendayung tadi.”

Biasanya anak-anak itu tak ada yang senang cepat-cepat masuk ke tempat tidur. Tetapi malam itu lain, karena akan datang suatu peristiwa yang mengasyikkan.

“Dengan begitu, besok akan cepat tiba,” kata Anne. Diletakkannya boneka yang sedang ditimang-timangnya. “Sekarang saja kita tidur?”

“Apa kata Ibu nanti, jika kita langsung tidur sehabis minum teh?” kata George. “Nanti dikira kita semua sakit. Jangan, nanti saja kita tidur sehabis makan malam. Kita bilang saja capek karena berdayung. Itu kan memang kenyataannya! Malam ini kita tidur nyenyak, dan besok pagi-pagi siap menghadapi petualangan yang ramai. Besok kita memang akan bertualang. Tak banyak orang yang memperoleh kesempatan untuk memeriksa bangkai kapal yang tua sekali seperti itu, yang sebelumnya terbenam di dasar laut!”

Pukul delapan malam anak-anak sudah masuk ke tempat tidur. Sampai heran Bibi Fanny melihatnya. Anne langsung tertidur. Julian dan Dick segera menyusul terlelap Tetapi George masih agak lama juga belum bisa tidur. Ia memikirkan pulaunya, bangkai kapalnya — dan tentu saja ingatannya juga melayang ke anjingnya yang tersayang.

“Aku harus mengajak Tim,” pikirnya sesaat sebelum tidur. “Tim harus kita ikut sertakan dalam petualangan ini!” Bersambung .....


Sumber:
Lima Sekawan : DI PULAU HARTA
Penulis Enid Blyton
Penerbit PT Gramedia Jakarta

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jangan membicarakan masalah yang tidak sesuai dengan jalan pikiran dan taraf berpikir orang yang kita hadapi.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------