BAB. XII
PENEMUAN-PENEMUAN MENARIK


TAK lama kemudian lantai kamar itu sudah bersih dari tanah, pasir dan rumput liar. Ternyata lantai terdiri dari batu-batu pipih. Ukurannya semua sama besar, dan bentuknya persegi empat. Satu per satu batu diteliti dengan senter. Mereka mencari-cari, barangkali ada yang bisa diangkat.

“Mungkin kita akan menemukan sebuah batu besar dengan gelang besi terpasang dalam lekukan,” kata Julian. Tetapi dugaannya meleset. Semua batu sama saja wujudnya. Benar-benar mengecewakan!

Julian mencoba menyelipkan sekopnya ke celah-celah yang ada di antara masing-masing ubin batu itu. Ia hendak memeriksa, kalau-kalau ada yang bisa digerakkan. Tetapi ternyata tidak. Semuanya kelihatan terpasang di tanah yang padat. Sesudah bekerja keras selama kira-kira tiga jam, anak-anak berhenti untuk makan.Perut mereka lapar sekali. Mereka bersyukur karena banyak makanan tersedia. Sambil makan mereka membicarakan persoalan yang hendak mereka pecahkan.

“Kelihatannya jalan masuk ke ruangan bawah tanah toh tidak terdapat di bawah lantai kamar ini,” kata Julian. “Memang mengecewakan — tapi menurut pendapatku tempatnya bukan di sini. Kita ukur saja peta itu. Barangkali dengan jalan demikian kita akan bisa mengetahui di mana sebenarnya letak tangga. Tapi tentu saja ada kemungkinan ukuran-ukuran pada peta tidak tepat! Jadi tak ada gunanya sama sekali. Walau begitu kita bisa mencobanya.”

Karenanya mereka lalu mengukur sebaik-baiknya, agar bisa mengetahui dengan tepat di mana kiranya tempat tangga yang menuju ke ruangan bawah tanah. Tetapi hal itu mustahil, karena denah ketiga lantai kelihatannya dibuat berdasarkan skala yang berbeda-beda. Julian menatap peta dengan bingung. Harapan sudah tipis sekali. Masakan mereka harus memeriksa seluruh lantai Puri Kirrin! Pasti akan memakan waktu lama.

“Lihat,” kata George dengan tiba-tiba. Jarinya menunjuk lubang yang mereka perkirakan merupakan gambar sumur. “Kelihatannya jalan masuk ke ruangan bawah tanah, letaknya tak jauh dari sumur ini. Kalau kita berhasil menemukan sumurnya dulu, sesudah itu kita bisa mencari-cari sekitarnya. Sumur digambarkan di kedua denah. Letaknya kurang lebih di tengah puri.”

“Idemu bagus sekali,” kata Julian memuji. “Kita pergi saja sekarang ke tengah-tengah puri. Kita bisa memperkirakan, di mana letak sumur tua itu. Karena menurut denah, letaknya pasti sekitar pusat pekarangan yang di luar itu.”

Keempat anak itu ke luar, ke pekarangan yang cerah diterangi sinar matahari. Mereka merasa penting dan bersungguh-sungguh. Hebat rasanya mencari-cari batang-batang emas yang hilang. Mereka semua meyakini bahwa yang dicari benar-benar ada di salah suatu tempat di bawah kaki mereka. Tak terpikir oleh siapa pun di antara keempat anak itu, adanya kemungkinan bahwa batang-batang emas yang dicari bukan tersimpan di bawah puri.

Mereka berdiri di pekarangan yang dulu pernah merupakan pusat Puri Kirrin. Mereka mengukur letak pertengahan pekarangan. Setelah terukur mereka berdiri di situ. Dengan sia-sia mereka mencari salah satu tempat yang mungkin merupakan lubang sumur tua. Semua tempat di situ penuh dengan tumbuh-tumbuhan. Pasir bertumpuk tertiup angin dari pantai, sedang rumput dan semak-semak bertumbuhan di mana-mana. Batu-batu pipih yang dulu merupakan alas pekarangan luas itu sekarang sudah pecah-pecah, dan tidak lagi terletak mendatar. Kebanyakan dari batu-batu itu tertutup pasir atau rumput.

“Lihat! Ada kelinci!” seru Dick. Seekor kelinci berwama keputih-putihan meloncat-loncat dengan tenang melintasi pekarangan, lalu menghilang dalam sebuah liang yang terdapat di seberang. Kemudian muncul seekor kelinci lagi. Kelinci itu duduk sebentar dan memandang anak-anak, lalu menghilang pula. Anak-anak sangat tertarik, karena belum pernah melihat kelinci-kelinci sejinak itu.

Sudah itu muncul kelinci ketiga. Kelinci itu kecil. Telinganya besar sekali, sedang buntutnya kecil dan berwarna putih. Kelinci itu sama sekali tak melihat ke arah anak-anak, melainkan meloncat-loncat bagaikan bermain-main. Anak-anak gembira sekali ketika kelinci kecil itu mengangkat kaki depannya dan mulai membersihkan telinga. Mula-mula telinga kanan yang ditarik ke bawah, sudah itu menyusul yang kiri.

Tim tak tahan lagi. Anjing itu diam saja ketika melihat kedua kehinci yang pertama meloncat-loncat melintasi pekarangan dan kemudian menghilang dalam liang. Tetapi seekor kelinci yang duduk diam-diam di depannya sambil membasuh kuping, benar-benar merupakan godaan yang keterlaluan untuk anjing yang mana saja. Tim mendengking, lalu lari melesit ke arah kelinci.

Sesaat lamanya kelinci itu tak bergerak. Ia belum pernah ditakut-takuti atau dikejar sebelumnya. Karena itu ia tetap duduk sambil memandang anjing yang datang memburu dengan matanya yang besar. Tetapi kemudian kelinci itu berpaling lalu lari secepat-cepatnya. Buntutnya yang putih terayun-ayun mengikuti gerak larinya. Kelinci itu menghilang di bawah sebuah semak yang letaknya tak jauh dari tempat anak-anak berdiri. Tim mengejarnya dan ikut menghilang ke bawah semak.

Sesudah itu anak-anak melihat pasir dan tanah berhamburan. Rupanya Tim berusaha mengejar kelinci ke dalam liangnya. Anjing itu mengorek-ngorek tanah dan pasir dengan kedua kaki depannya yang kuat. Ia mendengking-dengking karena bergairah, seolah-olah tak mendengar suara George memanggil-manggilnya. Tim bertekat hendak menangkap kelinci itu. Seperti kemasukan setan, Ia terus mengorek-ngorek lubang yang makin lama semakin membesar.

“Tim! Tulikah engkau? Ayo, ke mari!” seru George. “Kau tak boleh memburu kelinci di sini. Kau tahu aku sudah melarang. Kau nakal sekali. Ayo, ke luar!”

Tetapi Tim tidak ke luar. Ia terus saja mengorek-ngorek dengan giatnya. George menyusul, maksudnya hendak mengambil anjingnya yang nakal itu. Tetapi sewaktu ia sudah dekat ke semak, tiba-tiba tanah dan pasir tak berhamburan lagi. Terdengar bunyi dengking ketakutan. Sudah itu sepi. Suara Tim tak terdengar lagi. Dengan heran George mengintip ke bawah semak.

Ternyata Tim sudah tak ada lagi di situ. Anjing itu lenyap. Yang kelihatan cuma sebuah liang kelinci yang besar, yang semakin diperbesar oleh Tim.

“Julian — Tim hilang,” ujar George. Suaranya terdengar agak takut. “Dia kan tak mungkin masuk ke dalam liang kelinci itu? Badannya terlalu besar!”

Anak-anak mengerumuni semak. Dari suatu tempat di bawah terdengar samar suara mendengking. Julian melongo.

“Tim ada dalam liang itu” serunya. “Aneh! Belum pernah kudengar selama ini, ada anjing yang benar-benar masuk ke dalam sebuah liang kelinci. Bagaimana cara kita mengeluarkannya?”

“Pertama-tama semak ini harus kita gali sampai tercabut,” kata George tegas. Kalau perlu dia akan menggali Puri Kirrin sampai terbongkar semuanya. Pokoknya, Tim harus diselamatkan! “Aku tak bisa diam saja mendengar suara Tim melolong-lolong minta tolong.”

Semak itu terlalu lebat dan banyak durinya, sehingga anak-anak tidak bisa merangkak ke bawahnya. Julian merasa bersyukur, karena membawa berbagai macam alat. Ia pergi mengambil kapak. Mereka berbekal sebuah kapak kecil. Alat itu memadai untuk dipakai memotong tangkai-tangkai dan batang semak yang menghalangi-halangi. Dengan giat anak-anak menebas daun-daun semak itu, dan dalam waktu singkat saja sudah mulai kelihatan gundul.

Tetapi menebangnya memakan waktu agak lama, karena batangnya kokoh dan liat. Ketika akhirnya rubuh juga, tangan keempat anak itu penuh goresan kena duri. Sekarang mereka bisa melihat lubang di situ dengan jelas. Julian menyorotkan senternya ke dalam lubang. Seketika itu juga ia berteriak kaget.

“Aku tahu apa yang terjadi tadi! ini dia sumur tua yang kita cari-cari. Liang kelinci berada di sisi sumur. Sewaktu Tim sedang sibuk mengorek-ngorek liang untuk melebarkannya, tergali pula olehnya tanah yang menimbuni lubang sumur. Kemudian ia terjatuh ke dalamnya!”

“Ya Tuhan,” seru George kebingungan. “Tim, Tim — kau selamat?”

Terdengar suara mendengking jauh di bawah. Rupanya Tim ada di suatu tempat di bawah tanah. Anak-anak saling berpandangan.

“Yah! Hanya ada satu yang bisa kita kerjakan,” ujar Julian “Kita mengambil sekop kita sekarang juga, lalu menggali tanah yang menimbuni sumur ini sehingga lubangnya terbuka sama sekali. Sudah itu barangkali kita bisa mengulurkan seutas tali ke bawah, lalu turun untuk mengambil Tim.”

Mereka mulai menggali dengan sekop. Sama sekali tidak sukar pekerjaan menggali lubang yang cuma tertutup akar-akar semak, batu-batu tembok yang runtuh dan batu-batu kecil serta tanah dan pasir. Rupa-rupanya dulu ada sebongkah tembok yang besar dari menara jatuh ke tanah dan menutupi sebagian dari lubang sumur. Dan setelah itu tanah dan pasir yang diterbangkan angin serta semak yang tumbuh melenyapkan sumur itu dari pandangan.

Keempat anak itu menggabungkan tenaga untuk mendorong bongkah tembok ke samping. Di bawahnya nampak tutup dari kayu yang sudah sangat lapuk. Rupanya tutup itu di jaman dulu dipakai untuk melindungi air sumur dari kotoran. Kayunya begitu lapuk, sehingga ketika tertekan kaki Tim langsung jebol.

Julian menyingkirkan tutup itu. Anak-anak kemudian bisa melihat ke dalam lubang sumur. Kelihatannya sangat dalam dan sangat gelap. Dasarnya sama sekali tak nampak dari atas. Julian mengambil sebutir batu dan menjatuhkannya.

Anak-anak menajamkan telinga untuk mendengar bunyinya tercemplung ke air. Tetapi mereka tak mendengar apa-apa. Kalau begitu mungkin sumur ini sudah tak berair lagi. Atau bisa juga begitu dalamnya, sehingga bunyi batu jatuh ke air tak tertangkap oleh mereka!

“Kurasa sumur ini sangat dalam,” kata Julian. “Kalau begitu, di mana Tim?”

Disorotkannya senter ke bawah. Itu dia Tim! Rupanya ada sebongkah tembok yang dulu jatuh ke dalam sumur dan tersangkut di tengah lubang. Dan Tim terjatuh ke atas bongkah itu. Ia duduk sambil menengadah dengan ketakutan. Anjing itu sama sekali tak mengerti, apa yang telah terjadi dengan dirinya tadi.

Di sisi lubang terdapat sebuah tangga tua yang terbuat dari besi. Tahu-tahu George sudah menuruni tangga itu. Ia tak peduli apakah tangga itu kuat atau tidak. Dengan segera ia sudah sampai ke tempat Tim jatuh. Entah dengan cara bagaimana, George herhasil mengangkat anjing kesayangannya ke pundak Kemudian anak itu naik lagi dengan pelan-pelan, sambil memegang Tim dengan tangan sebelah. Ketiga saudara sepupunya membantu menariknya ke luar. Begitu menginjak tanah yang aman, Tim melonjak-lonjak mengeliingi anak-anak sambil menggonggong-gonggong. Rupanya ia pun merasa lega!

“Nah, Tim,” ujar Dick. “Lain kali jangan suka memburu kelinci lagi, ya! Tapi di pihak lain kau sudah berjasa pada kami, karena berhasil menemukan sumur. Sekarang kita tinggal mencari lagi sebentar, sebelum menemukan jalan masuk ke ruangan bawah tanah!”

Mereka melanjutkan kesibukan mencari. Semua semak disodok-sodok dengan sekop. Batu-batu yang menonjol ditarik ke luar. Tanah di bawahnya digali dengan harapan tiba-tiba akan berhadapan dengan sebuah lubang menganga. Benar-benar mengasyikkan!

Ternyata Anne yang berhasil menemukan jalan masuk dicari-cari. Caranya dengan kebetulan belaka. Ia merasa capek, lalu duduk untuk beristirahat sebentar. Ia berbaring menelungkup sambil mengorek-ngorek pasir di depannya. Tiba-tiba tangannya menyentuh sesuatu benda yang keras dan dingin. Dengan cepat disingkirkannya pasir yang menutupi — dan ia memandang sebuah gelang besi! Anne berseru sehingga anak-anak menoleh ke arahnya.

“Di sini ada sebuah batu. Dalamnya terpasang sebuah gelang besi!” seru Anne dengan ramai. Saudara-saudaranya berlarian menghampiri, Dengan segera Julian bekerja dengan sekopnya. Tak lama kemudian seluruh permukaan batu itu sudah bersih dari pasir dan tanah. Benarlah, di tengah batu ada sebuah gelang besi. Sedang gelang seperti itu hanya dipasang pada batu yang bisa diangkat. Jadi tentunya inilah batu yang menutupi jalan masuk ke ruangan bawah tanah!

Anak-anak silih berganti mencoba untuk menarik gelang besi itu. Tetapi batu tetap tak bergerak sedikit pun. Kemudian Julian menambatkan seutas tali ke gelang. Keempat anak itu menarik tali sekuat tenaga mereka.

Akhirnya batu itu bergerak juga. Hal itu terasa jelas oleh anak-anak. Mereka menjadi semakin bersemangat.

“Sekali lagi — bersama-sama!” seru Julian. Sekali lagi mereka menarik dengari sekuat tenaga. Batu itu bergerak kembali, lalu terangkat. Batu itu terangkat ke atas, sehingga anak-anak berpelantingan ke belakang dan saling tindih-menindih. Tim lari ke lubang yang terbuka. Sambil menjengukkan kepala ke dalam ia menggonggong dengan ribut. Seolah-olah semua kelinci di seluruh dunia tinggal dalam lubang itu!

Julian dan George bergegas bangkit dan lari ke lubang yang tadinya tertutup batu. Mereka berdiri di situ sambil memandang ke bawah. Muka mereka bersinar-sinar karena gembira. Mereka berhasil menemukan jalan masuk ke ruangan bawah tanah. Di bawah kaki mereka nampak jenjang batu yang dipahat dari dasar pulau itu sendiri. Arahnya menurun ke dalam gelap.

“Ayolah” seru Julian sambil menyalakan senternya. “Kita sudah menemukan jalan yang kita cari. Sekarang kita mendatangi ruangan bawah tanah!”

Jenjang batu itu sangat licin. Tim yang paling dulu turun. Anjing itu terpeleset lalu berguling-guling jatuh di tangga, terdengking-dengking ketakutan. Julian menyusul ke bawah, diikuti oleh George dan sudah itu Dick dan Anne. Hati mereka berdebar-debar semua. Mereka sudah mengharapkan akan melihat emas bertumpuk-tumpuk, serta berbagal macam harts karun bertebaran di bawah!

Tangga yang terjal itu gelap dan berbau pengap. Anne tak tahan mencium bau itu.

“Mudah-mudahan saja udara di bawah segar,” kata Julian. “Kadang-kadang ruangan di bawah tanah bisa berbahaya. Kalau ada yang merasa aneh lebih baik cepat-cepat mengatakannya, supaya kita bisa naik ke atas lagi sebelum terjadi apa-apa.”

Tetapi walau mungkin ada anak yang merasa dirinya agak aneh, tetapi tak seorang pun yang mengatakannya. Mereka terlalu ingin melihat ke bawah, sehingga tak ada yang sempat meributkan rasa aneh.

Tangga itu ternyata cukup tinggi, tetapi akhirnya mereka sampai juga di dasarnya. Julian menjejakkan kaki turun dari anak tangga terakhir, lalu menyorotkan senternya ke sana ke mari. Di depannya nampak pemandangan yang menakjubkan.

Ruangan Puri Kirrin yang di bawah tanah rupanya digali di tengah-tengah batu dasar pulau itu sendiri. Anak-anak tidak bisa mengetahui dengan pasti, apakah sebelumnya di situ memang sudah ada rongga-rongga gua, atau semuanya merupakan hasil penggalian oleh tangan manusia. Tetapi pokoknya semua kelihatannya penuh rahasia, gelap dan di mana-mana terpantul gema suara mereka. Julian mendesah sebagai tanda ketegangan perasaannya saat itu. Desahan itu terpantul pada dinding-dinding ruangan dan menggema bertalu-talu. Seolah-olah dalam tempat yang gelap itu ada makhluk hidup yang meniru-nirukan mereka. Anak-anak merasa agak seram dibuatnya.

“Aneh ya?” kata George setengah berbisik. Seketika itu juga pertanyaan menggema makin lama makin nyaring, “Aneh ya? — ANEH YA? — ANEH YA? — NEH YA? HYA? — Ya? VA — YAYAYA —“

Anne memegang tangan Dick erat-erat. Ia merasa takut. Ia tahu yang terdengar hanya gema belaka. Tetapi kedengarannya persis seperti suara orang-orang yang bersembunyi dalam rongga-rongga bawah tanah itu!

“Di mana kira-kiranya emas itu?” kata Dick. Dengan seketika perkataannya menggema kembali, “EMAS ITU — MAS ITU — MAS ITU — ASITU—ITU—ITU—ITUITUITU-”

Julian tertawa mendengarnya, dan suara tertawanya juga langsung menggema. Benar-benar ajaib!

“Ayo, kita masuk saja ke dalam,” ujar Julian. “Mungkin gema di situ tak segawat sini.”

“SINI,” terdengar gema suaranya, “SINI—SINISINISINI!”

Anak-anak masuk dan memeriksa ruangan terdekat. Sebetulnya ruangan-ruangan itu hanya berupa kolong batu di bawab Puri Kirrin. Mungkin saja di jaman dulu ada tawanan-tawanan malang yang terkurung di situ, tetapi umumnya kolong-kolong itu dipakai untuk tempat menyimpan barang.

“Aku kepingin tahu, ruangan mana yang dipakai sebagai tempat penyimpanan emas.” kata Julian. Ia berhenti melangkah, lalu mengeluarkan gambar peta dari kantong. Diperhatikannya peta itu dengan bantuan sinar senter. Tetapi walau di situ diberi tanda dengan jelas di mana ruangan tempat panyimpanannya, tetapi ia tak tahu arah mana yang harus diambilnya.

“He, lihat ini,” seru Dick tiba-tiba. “Di sini ada pintu yang menuju ke ruangan lain. Pasti itulah ruangan yang kita cari-cari! Tanggung di dalamnya ada emas!” Bersambung.....


Sumber:
Lima Sekawan : DI PULAU HARTA
Penulis Enid Blyton
Penerbit PT Gramedia Jakarta

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sesungguhnya syaitan itu masuk menyusuri jalannya darah ke jantung hati.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

DOWNLOAD ARTIKEL (PDF)