BAB. IX
PETI HARTA


Begitu selesai sarapan, dengan segera anak-anak mengambil peti yang disembunyikan di bawah tempat tidur. Peti itu dibawa ke gudang tempat menyimpan alat-alat di kebun. Mereka sudah kepingin sekali membukanya. Dalam hati, mereka semua merasa yakin bahwa di dalamnya tersimpan harta. Entah apa, tetapi pokoknya harta!

Julian mencari-cari alat yang bisa dipakai. Ia menemukan sebuah pahat. Menurut perasaannya alat itu cocok sekali dipakai untuk membuka peti secara paksa. Ia langsung mencobanya, tetapi pahat tergelincir dan mengenai jari-jari tangannya. Dicobanya kemudian berbagai alat lain. Tetapi peti itu tetap saja tak bisa terbuka. Kesal anak-anak dibuatnya.

“Aku tahu akal,” ujar Anne akhirnya. “Kita bawa saja peti ini ke tingkat paling atas, lalu kita bantingkan dari jendela ke tanah. Pasti pecah!”

Saudara-saudaranya mempertimbangkan usul itu.

“Bisa saja kita mencobanya,” kata Julian. “Cuma risikonya, barang yang ada di dalam bisa patah atau rusak sebagai akibatnya.”

Tetapi mereka tak melihat jalan lain lagi. Karenanya Julian membawa peti ke dalam rumah, lalu naik sampai ke tingkat teratas. Ia masuk ke dalam loteng dan membuka jendela yang ada di situ. George dan kedua adiknya berdiri sambil menunggu di bawah. Julian membantingkan peti sekuat tenaga ke bawah. Peti itu melayang di udara, lalu membentur alas batu di tanah dengan suara nyaring.

Seketika itu juga terbuka pintu serambi yang menghadap ke situ. Paman Quentin muncul seperti disengat lebah.

“Apa lagi yang kalian perbuat sekarang?” serunya marah. “Kalian kan tidak berlempar-lemparan dari jendela! Barang apa lagi ini, yang terletak di tanah?”

Anak-anak memandang peti yang dilemparkan oleh Julian dari atas. Peti itu tertetak di batu yang merupakan alas serambi luar. Tutupnya terbuka, dan di dalamnya nampak sebuah kotak dari timah yang kedap air. Barang yang tersimpan dalam peti tidak bisa rusak kena air laut dan tetap kering!

Dick berlari untuk mengambil peti.

“Aku bertanya tadi, barang apa itu yang terletak di tanah?” teriak Paman sambil melangkah ke depan.

“Ini — barang ini kepunyaan kami,” ujar Dick, Mukanya menjadi merah.

“Nah, kalau begitu kurampas saja” ujar Paman. Kalian nakal, mengganggu kesibukanku! Berikan barang itu padaku. Dari mana kalian mendapatnya?”

Anak-anak tidak ada yang menjawab. Paman Quentin mengerutkan dahi, sampai kaca matanya nyaris copot.

“Dari mana kalian mengambilnya?” bentak Paman sambil melotot ke arah Anne yang berdiri paling dekat.

“Dari bangkai kapal tua,” kata Anne tergagap-gagap karena takut.

“Dari kapal tua!” kata Paman tercengang. “Maksudmu dari bangkai kapal yang terangkat dari dasar laut kemarin? Aku juga mendengar kabarnya. Jadi kalian masuk ke kapal itu!”

“Ya,” jawab Dick. Saat itu Julian datang menggabungkan diri lagi. Ia kelihatan cemas. Jangan-jangan pemannya akan merampas peti yang akhirnya berhasil dibuka. Dan ternyata memang itulah yang terjadi.

“Mungkin dalam peti ini ada barang penting,” katanya sambil mengambil peti yang ada di tangan Dick. “Kalian tak boleh mengacak-acak dalam bangkai kapal tua itu, karena jangan-jangan terambil barang yang penting artinya.”

“Tapi itu kan kapal kepunyaanku,” kata George membantah. “Ayah, berikanlah peti itu kepada kami. Kami baru saja berhasil membukanya. Menurut perasaan kami isinya mungkin harta. Barangkali saja sebatang emas!”

“Sebatang emas,” kata ayahnya mencemoohkan. “Kau ini memang anak kecil yang tak tahu apa-apa! Peti sekecil ini tak mungkin dipakai sebagai tempat menyimpan barang berharga seperti itu. Lebih mungkin isinya merupakan keterangan menyangkut emas berbatang-batang itu. Aku sudah selalu berpendapat bahwa emas itu sudah diantar dengan selamat ke salah satu tempat. Dan sesudah membongkar muatan berharga itu, kapal membentur karang sewaktu keluar dari teluk lalu karam.”

“Aduh Ayah, bolehkah kami meminta peti itu,” kata George merengek-rengek. Ia sudah hampir menangis. Tiba-tiba ia merasa yakin, peti itu berisi surat-surat yang mungkin akan merupakan petunjuk tentang batang-batang emas yang diangkat oleh kapal yang bernasib sial itu. Tetapi dengan tidak mengatakan apa-apa lagi Paman berpaling dan masuk ke rumah. Peti yang sudah pecah tutupnya dikepit di bawah ketiak.

Anne menangis.

“Jangan salahkan aku karena mengatakan bahwa peti itu kita ambil dari bangkai kapal,” katanya tersedu-sedu. “Jangan salahkah aku. Habis, Paman melotot memandangku. Jadi aku terpaksa mengatakan.”

“Sudahlah, Dik,” kata Julian sambil merangkul Anne. Ia kelihatan marah sekali. Paman dianggapnya tidak adil, karena dengan begitu saja merampas peti. “Aku tak rela! Biar bagaimanapun, peti itu harus kita ambil lagi dan kita periksa isinya. Ayahmu pasti tak mau merepotkan diri dengan peti itu, George. Dia pasti sudah mulai lagi menulis buku yang sedang dikarangnya, dan melupakan asal peti kita. Aku akan menunggu kesempatan baik untuk menyelinap masuk ke dalam kamar kerjanya, lalu mengambil peti itu. Biar aku dipukul kalau sampai ketahuan!”

“Bagus, kalau kau mau begitu’” kata George. “Kami akan berjaga-jaga, untuk melihat barangkali saja Ayah ke luar.”

Anak-anak silih berganti menjaga. Tetapi benar-benar mengesalkan, karena sepanjang pagi Paman Quentin tak ke luar sama sekali dari kamar kerjanya. Bibi Fanny heran ketika melihat sepanjang pagi selalu ada satu atau dua orang anak dalam kebun.

“Mengapa kalian tidak bersama-sama semuanya dan bermain-main ke pantai, atau pergi berenang?” tanyanya. “Atau kalian bertengkar?”

“Tidak,” jawab Dick. “Tentu saja tidak.” Tetapi ia tak mengatakan, kenapa mereka berganti-ganti hadir dalam kebun!

“Ayahmu tidak pernah ke luar ya?” tanyanya pada George, ketika anak itu datang untuk menggantinya berjaga. “Menurut perasaanku, dengan begitu hidupnya tidak sehat!”

“Hidup para sarjana memang tak pernah sehat,” jawab George dengan nada pasti, seolah-olah ia mengenal semua sarjana. “Tapi siang ini ia mungkin tertidur. Kadang-kadang hal itu terjadi, karena capek bekerja.”

Siang itu giliran Julian menjaga dalam kebun. Ia duduk sambil membaca buku di bawah pohon. Tak lama kemudian perhatiannya tertarik oleh suatu bunyi aneh. Dengan seketika ia tahu, bunyi apa itu.

“Itu suara Paman Quentin mendengkur!” katanya. Syarafnya menegang, sementara ia menajamkan telinga untuk meyakinkan. “Betul, Paman sudah tertidur! Kucoba saja sekarang, menyelinap masuk lewat pintu serambi untuk mengambil peti!”

Julian mengendap-endap ke pintu-pintu serambi. Satu di antaranya terbuka sedikit. Julian menguakkannya sehingga menganga lebih lebar lagi. Dilihatnya Paman duduk tersandar di sebuah kursi besar yang empuk. Mulutnya agak terbuka, sedang matanya tertutup rapat. Paman tertidur! Terdengar bunyi dengkurnya setiap kali menarik napas.

“Kelihatannya nyenyak sekali tidurnya,” pikir Julian. “Dan peti ada di belakangnya, di atas meja. Sebaiknya kucoba saja. Kalau sampai ketahuan, pasti aku akan dipukul. Sudahlah, apa boleh buat bila hal itu sampai terjadi!”

Julian menyelinap masuk. Paman masih mendengkur terus. Anak itu berjingkat-jingkat menuju ke meja yang letaknya di belakang kursi besar tempat Paman tidur. Dengan hati-hati diambilnya peti.

Tiba-tiba sepotong kayu tutup peti yang pecah terjatuh ke lantai. Paman menggeliat, lalu membuka matanya. Secepat kilat Julian bersembunyi di belakang kursi besar. Ia nyaris tak berani bernapas.

“Bunyi apa itu?” terdengar suara Paman bertanya pada diri sendiri. Julian tetap merunduk, dengan tidak bergerak sama sekali. Paman merebahken diri kembali ke sandaran kursi, lalu memejamkan mata. Beberapa saat setelah itu, sudah terdengar lagi bunyi dengkurnya yang teratur.

“Hore!” Kata Julian girang. Tetapi tentu saja hanya dalam hati. “Dia sudah pulas lagi.”

Dengan tidak menimbulkan bunyi sedikit pun, Julian bangkit. Peti dipegangnya erat-erat. Sambil berjingkat-jingkat, ia ke luar lalu lari melewati jalan kebun. Ia tak bermaksud menyembunyikan peti itu. Ia ingin selekas-lekasnya mendatangi anak-anak yang menunggu dan menunjukkan hasilnya!

Ia berlari ke pantai, di mana George dan kedua adiknya sedang berbaring di pasir sambil menjemur badan.

“He!” serunya dari jauh. “He — aku berhasil! Aku berhasil!”

Ketiga anak yang sedang berbaring di pantai duduk dengan serempak. Hati mereka berdebar-debar melihat peti yang ada di tangan Julian. Mereka tak ingat lagi pada orang-orang lain yang juga ada di situ. Julian merebahkan diri ke pasir sambil tertawa meringis.

“Ayahmu tertidur,” katanya pada George. “Lalu aku menyelinap masuk. Sewaktu peti kuangkat, sepotong kayu terjatuh ke lantai. Ayahmu terbangun karenanya.”

“Ya ampun!” seru George. “Lalu, apa yang terjadi sesudah itu?”

“Aku bersembunyi di balik kursinya, sampai ia tertidur kembali,” ujar Julian. “Kemudian aku lekas-lekas lari. Sekarang kita periksa saja apa isi peti ini. Kurasa ayahmu sama sekali tak mengapa-apakannya.”

Memang benar. Kotak timahnya masih utuh, walau sudah karatan karena bertahun-tahun terendam dalam air asin. Tutupnya terpasang rapat sekali, sampai hampir saja mereka tak berhasil membuka.

Tetapi George pantang menyerah! Tutup itu dikorek-koreknya dengan pisau saku, untuk menghilangkan karat. Sesudah sibuk selama tiga perempat jam, akhirnya berhasil juga dibuka tutup itu.

Dengan penuh perhatian anak-anak memandang ke dalam. Mereka melihat sejumlah kertas tua dan semacam buku bersampul hitam. Cuma itu saja isinya. Sama sekali tak ada batang emas. Tak ada harta di dalamnya. Anak-anak merasa agak kecewa.

“Semuanya kering,” kata Julian dengan heran. “Sama sekali tak terasa lembab. Rupanya bungkus timah mengawetkan semuanya.”

Diambilnya buku bersampul hitam, lalu dibukanya.

“Ini buku catatan kakek dari kakekmu, tentang pelayaran kapalnya,” katanya kemudian. “Tulisannya hampir-hampir tak dapat kubaca. Begitu kecil dan aneh!”

George memungut selembar kertas yang terletak dalam peti. Kertas itu terbuat dari perkamen, dan sudah kuning warnanya karena tua. George menghamparkannya ke pasir, lalu duduk memperhatikan. Ketiga saudaranya turut meneliti. Tetapi mereka tak berhasil mengetahui maknanya. Nampaknya seperti sebuah peta.

“Mungkin itu peta dari suatu tempat yang harus didatangi olehnya,” kata Julian. Tetapi tangan George yang memegang peta tiba-tiba gemetar. Ia menatap anak-anak dengan mata bersinar-sinar. Mulutnya membuka dan menutup beberapa kali, tetapi tak terdengar suaranya ke luar.

“Ada apa?” tanya Julian ingin tahu. “Apa yang terjadi? Kau jadi bisu ya?!”

George menggeleng. Ketika sudah bisa bicara lagi, kata-kata berhamburan ke luar.

“Julian! Kau tahu ini gambar apa? Ini peta puri tuaku. lni peta Puri Kirrin, ketika masih utuh. Dan dalamnya tertera ruang-ruang di bawah tanah. Dan lihatlah! Coba kaubaca tulisan di pojok gambar ruang-ruang ini!”

George menunjuk dengan jari gemetar ke salah satu bagian dalam peta itu. Anak-anak mencondongken tubuh mereka ke depan, supaya bisa melihat lebih jelas. Di tempat yang ditunjuk oleh George tertera sepatah kata aneh, ditulis dengan huruf-huruf kuno. Kata itu adalah

INGOTS

“Ingot!” kata Anne heran. “Apa artinya? Aku belum pernah mendengar kata itu.”

Tetapi kedua abangnya tahu.

“Masakan kau tak mengetahui artinya? Bagaimana pelajaran bahasa Inggrismu, Anne!” seru Dick. “ingot berarti emas batangan.”

“Semua logam dalam bentuk batang disebut begitu,” kata Julian membetulkan keterangan itu. Mukanya merah karena gembira. “Tapi karena kita mengetahui bahwa dalam kapal tua dulu ada emas, maka kelihatannya kata itu di sini memang berarti emas batangan. Wah! Bayangkan, barangkali saja logam mulia itu masih tersembunyi di salah satu tempat di bawah runtuhan Puri Kirrin. George! Bayangkan saja — asyik kan?!”

George mengangguk. Badannya gemetar karena menahan perasaan yang hendak meluap-luap.

“Coba kita bisa menemukannya!” katanya dengan suara berbisik. “Coba kita berhasil menemukannya!”

“Kita cari saja,” jawab Julian. “Pasti pekerjaan itu akan sangat sukar, karena purimu sudah tinggal puing saja lagi. Dan juga sudah penuh ditumbuhi semak belukar. Tetapi biar bagaimana, batang-batang emas akan berhasil kita temukan. Emas! Emas Emas!”

Tim bingung melihat anak-anak ribut bersorak-sorak. Ia mengibas-kibaskan ekor dan mendatangi keempat anak itu satu per satu. Tetapi sekali itu tak ada yang sempat memperhatikannya. Tim sama sekali tak mengerti. Sesudah beberapa saat Ia lalu duduk agak jauh sambil membelakangi anak-anak. Kupingnya terkulai.

“Aduh, lihatlah Tim. Kasihan dia!” kata George. “Ia tak bisa mengerti, kenapa kita begini gembira. Tim, sini anjingku yang manis. Kau sama sekali tidak kena marah. Tim, kita mempunyai rahasia yang paling asyik!”

Tim meloncat bangkit dengan buntut mengibas ke kanan kiri. Ia merasa senang, karena kembali mendapat perhatian. Diletakkannya kaki depannya yang besar itu ke atas peta harta. Seketika itu juga anak-anak berseru-seru melarangnya.

“Astaga! Peta ini tak boleh sampai sobek!” kata Julian. Kemudian dipandangnya anak-anak dengan kening berkerut. “Apa yang harus kita lakukan dengan peti itu. Maksudku, pasti ayah George akan merasa kehilangan. Jadi kita harus mengembalikannya.”

“Bagaimana jika peta ini kita tahan?” kata Dick mengusulkan. “Dia kan tak mengetahui isi peti, karena belum memeriksa. Sedang yang lain-lainnya tak begitu penting — karena cuma catatan tua serta beberapa lembar surat.”

“Supaya aman, kita salin saja peta ini,” kata Julian. “Dengan begitu peta aslinya bisa kita kembalikan, lalu peti ditaruh lagi ke tempat semula.”

Anak-anak menyetujui usul itu. Mereka kembali ke Pondok Kirrin, lalu menjiplak peta dengan secermat-cermatnya. Mereka melakukannya dalam gudang peralatan, karena tak ingin ada orang lain melihat. Peta itu ganjil, karena terbagi dalam tiga bagian.

“Bagian yang ini menunjukkan ruangan-ruangan yang di bawah puri,” kata Julian. “Yang ini merupakan denah lantai dasar — sedang yang ini merupakan bagian paling atas.” Denah adalah gambar letak ruangan-ruangan dari sebuah bangunan. “Bukan main, asyik benar tempat ini jaman dulu. Di bawah tanah terdapat ruangan-ruangan. Pasti menyeramkan, karena dulu merupakan sel-sel tempat mengurung orang. Aku kepingin tahu. bagaimana caranya bisa masuk ke bawah tanah.”

“Peta ini harus kita pelajari dengan lebih seksama,” kata George. “Saat ini kelihatannya masih membingungkan bagi kita. Tapi jika peta ini kita bawa ke puri dan dipelajari lagi di sana, maka mungkin akan berhasil kita ketahui jalan untuk pergi ke ruangan-ruangan yang tersembunyi di bawah tanah. Wah, bukan main! Kurasa tak ada anak-anak lain yang bisa mengalami kejadian menarik seperti ini.”

Julian menyimpan salinan peta dalam kantong celana jeannya. Ia bermaksud akan menyimpannya baik-baik. Peta itu sangat berharga. Sedang peta asli ditaruhkannya kembali ke dalam peti. Ia memandang ke arah rumah.

“Bagaimana kalau sekarang saja kita kembalikan?” katanya. “Barangkali ayahmu masih tidur, George.”

Tetapi Paman Quentin sudah bangun. Untung saja ia tak memperhatikan bahwa peti tidak ada lagi di tempatnya. Ia masuk ke kamar makan untuk minum teh bersama keluarga. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Julian. Setelah minta ijin, ia cepat-cepat ke luar lalu mengembalikan peti ke meja di belakang kursi tempat Paman tidur tadi!

Ketika ia kembali, dikejapkannya mata ke arah anak-anak. Mereka merasa lega. Semuanya takut pada Paman Quentin, dan tak kepingin kena marah olehnya. Selama makan, Anne sama sekali tidak membuka mulut untuk ngomong. Ia sangat kuatir akan terlanjur kata, dan membuka rahasia mereka. Baik tentang Tim, atau tentang peti harta. George, Julian dan Dick juga tidak banyak bicara. Tiba-tiba telepon berdering. Bibi Fanny bangkit untuk menerimanya. Tak lama kemudian ia kembali.

“Untukmu, Quentin,” katanya pada Paman. “Rupa-rupanya bangkai kapal tua itu sangat menarik perhatian orang banyak. Ada beberapa wartawan dari London yang ingin menanyakan beberapa hal mengenainya padamu.”

“Katakan pada mereka, aku bisa menerima pukul enam,” kata Paman. Anak-anak saling berpandangan dengan perasaan kecut. Mudah-mudahan saja Paman tidak menunjukkan peti kepada para wartawan itu. Mereka kuatir rahasia emas yang tersembunyi akan terbongkar!

“Untung saja peta itu sempat kita jiplak,” kata Julian sesudah selesai makan dan minum. “Tapi aku menyesal juga, kenapa peta yang asli kita kembalikan ke dalam peti. Jangan-jangan ada orang lain yang akan menebak rahasia kita!” Bersambung .....


Sumber:
Lima Sekawan : DI PULAU HARTA
Penulis Enid Blyton
Penerbit PT Gramedia Jakarta

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Banyak harta benda bukanlah kaya yang sebenarnya, tetapi kaya hati itulah kaya yang sebenarnya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------